Ekosistem Mangrove: Faktor-Faktor Lingkungan Yang Menghipnotis Mangrove


Hutan mangrove Pulau Sebuku Kalimantan Selatan dilihat dari sisi sungai
(Dokumentasi Penelitian Ghufrona 2015)
Ekosistem mangrove dapat berkembang baik di kawasan pantai berlumpur dengan air yang hening dan terlindung dari dampak ombak yang besar serta eksistensinya bergantung pada adanya pedoman air tawar dan air laut. Samingan (1971) menyatakan bahwa kebanyakan mangrove merupakan vegetasi yang agak seragam, selalu hijau dan berkembang dengan baik di kawasan berlumpur yang berada dalam jangkaan insiden pasang surut. 

Komposisi mangrove mempunyai batas yang khas dan batas tersebut bekerjasama atau disebabkan oleh imbas selektif dari: (a) tanah, (b) salinitas, (c) jumlah hari atau lamanya penggenangan, (d) dalamnya penggenangan, serta (e) kerasnya arus pasang surut.

Pertumbuhan vegetasi mangrove dipengaruhi oleh faktor lingkungan (fisik, kimia, dan biologis) yang sangat kompleks, antara lain:
1.      Salinitas
Salinitas air tanah mempunyai peranan penting sebagai faktor penentu dalam pengaturan pertumbuhan dan keberlangsungan kehidupan. Salinitas air tanah dipengaruhi oleh sejumlah faktor, ibarat genangan pasang, topografi, curah hujan, masukan air tawar dan sungai, run-off daratan dan evaporasi.
Aksorkoae (1993) menyatakan bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat memilih perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove.
Toleransi setiap jenis flora mangrove terhadap salinitas berbeda-beda. Batas ambang toleransi flora mangrove diperkirakan 36 ppm (MacNae 1968). Adapun Aksornkoae (1993) mencatat bahwa Avicennia spp. mempunyai toleransi yang tinggi terhadap garam dan Bruguiera gymnorhiza ditemukan pada kawasan dengan salinitas 10-20 ppm. Di Australia, Avicennia marina dapat tumbuh dengan tingkat salinitas maksimum 85 ppm, sedangkan Bruguiera spp. sanggup tumbuh dengan salinitas tidak lebih dari 37 ppm (Wells 1982 dalam Aksornkoae 1993).
2.      Tanah
Tanah di hutan mangrove mempunyai ciri-ciri yang selalu basah, mengandung garam, oksigen sedikit, berbentuk butir-butir dan kaya materi organik (Soeroyo 1993). Tanah tempat tumbuh mangrove terbentuk dari akumulasi sedimen yang bersal dari sungai, pantai atau abrasi yang terbawa dari dataran tinggi sepanjang sungai atau akses (Aksornkoae 1993). Sebagian tanah berasal dari hasil akumulasi dan sedimentasi bahan-bahan koloid dan partikel. Sedimen yang terakumulasi di kawasan mangrove mempunyai kekhususan yang berbeda, tergantung pada sifat dasarnya. Sedimen yang berasal dari sungai berupa tanah berlumpur, sedangkan sedimen yang berasal dari pantai berupa pasir. Degradasi dari bahan-bahan organik yang terakumulasi sepanjang waktu juga merupakan cuilan dari tanah mangrove. Soerianegara (1971) dalam Kusmana (1996) menjelaskan bahwa tanah mangrove umumnya kaya akan materi organik dan mempunyai nilai nitrogen yang tinggi, kesuburannya bergantung pada materi alluvial yang terendap.
Menurut Soeroyo (1993), pembentukan tanah mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
  • faktor fisik, yaitu berupa transport nutrien oleh arus pasang, pedoman laut, gelombang dan pedoman sungai; 
  • faktor fisik-kimia, yaitu berupa penggabungan dari beberapa partikel oleh penggumpalan dan pengendapan;
  • faktor biotik, yaitu berupa produksi dan perombakan senyawa-senyawa organik.

3.      Suhu
Menurut Aksornkoae (1993), suhu merupakan faktor penting dalam proses fisiologi flora ibarat fotosintesis dan respirasi. Diperkirakan suhu rata-rata didaerah tropis meupakan habitat terbaik bagi flora mangrove.
Mikroorganisme mempunyai batasan suhu tertentu untuh bertahan terhadap acara fisiologisnya. Respon basil terhadap suhu berbeda-beda, umumnya mempunyai batasan suhu optimum 27–36˚C. Oleh lantaran itu, suhu perairan besar lengan berkuasa terhadap penguraian daun mangrove dengan perkiraan bahwa serasah daun mangrove sebagai dasar metabolisme.
Hutchings dan Saenger (1987) menyatakan bahwa Avicennia marina yang ada di Australia memproduksi daun gres pada suhu 18–20˚C, jikalau suhunya lebih tinggi maka laju produksi daun gres akan lebih rendah. Selain itu, laju tertinggi produksi dari daun Rhizopora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp., dan Lumnitzera spp. ialah pada suhu 26–28˚C. Adapun laju tertinggi produksi daun Bruguiera spp. ialah 27˚C.

4.      Curah hujan
Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa jumlah, usang dan distribusi curah hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan penyebaran tumbuhan. Disamping itu curah hujan menghipnotis faktor lingkungan lain, ibarat suhu udara dan air, kadar garam air permukaan dan air tanah yang pada gilirannya akan menghipnotis kelangsungan hidup spesies mangrove. Pada umumnya flora mangrove tumbuh dengan baik pada kawasan dengan curah hujan kisaran 1 500 – 3 000 mm/tahun. Namun demikian flora mangrove sanggup juga ditemukan pada kawasan dengan curah hujan             4 000 mm/tahun yang tersebar antara 8–10 bulan dalam 1 tahun. Menurut Noakes (1951), iklim dimana flora mangrove sanggup tumbuh dengan baik ialah iklim tropika yang lembab dan panas tanpa ada pembagian trend tertentu, hujan bulanan rata-rata sekitar 225–300 mm, serta suhu rata-rata maksimum pada siang hari mencapai 32˚C dan suhu rata-rata malam hari mencapai 23˚C.

5.      Kecepatan angin
Angin merupakan faktor yang besar lengan berkuasa terhadap ekosistem mangrove melalui agresi gelombang dan arus di kawasan pantai. Hal ini menjadikan terjadinya abrasi pantai dan perubahan sistem ekosistem mangrove. Angin besar lengan berkuasa pada flora mangrove sebagai distributor polinasi dan desiminasi biji, serta meningkatkan evapotranspirasi. Angin yang yang kuat memungkinkan untuk menghalangi pertumbuhan mangrove dan mengakibatkan karakteristik fisiologis yang tidak normal. Angin juga besar lengan berkuasa terhadap jatuhan serasah mangrove, angin yang tinggi menjadikan besarnya produksi serasah.

6.      Derajat kemasaman (pH)
Nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa dalam air. Nilai pH perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain aktifitas fotosintesis, aktifitas biologi, temperatur, kandungan oksigen, dan adanya kation serta anion dalam perairan (Aksornkoae & Wattayakorn 1987 dalam Aksornkoae 1993). Nilai pH hutan mangrove berkisar antara 8.0 – 9.0 (Welch dalam Winarno 1996). Nilai pH yang tinggi lebih mendukung organisme pengurai untuk menguraikan bahan-bahan organik yang jatuh di kawasan mangrove, sehingga tanah mangrove yang bernilai pH tinggi secara nisbi mempunyai karbon organik yang kurang lebih sama dengan profil tanah yang dimilikinya (Winarno 1996).
Air maritim sebagai media yang mempunyai kemampuan sebagai larutan penyangga sanggup mencegah perubahan nilai pH yang ekstrim. Perubahan nilai pH sedikit saja akan memperlihatkan petunjuk terganggunya sistem penyangga.

7.      Zat hara
Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa hara merupakan faktor penting dalam memelihara keseimbangan ekosistem mangrove. Hara dalam ekosistem mangrove dibagi kedalam dua kelompok:
  • Hara anorganik, yang penting untuk kelangsungan hidup organisme mangrove. Hara ini terdiri atas N, P, K, Mg, Ca, dan Na. Sumber utama hara anorganik ialah curah hujan, limpasan sungai, endapan, air laut, dan materi organik yang terurai di mangrove;
  • Detritus organik, yang merupakan materi organik yang berasal dari bioorganik yang melalui beberapa tahap pada proses mikrobial. Sumber utama detritus organik ada dua, antara lain:

-          Autochtonous, ibarat fitoplankton, diatom, bakteri, jamur, algae pada pohon atau akar dan tumbuhan  lain di hutan mangrove;

-          Allochtonous, ibarat partikel-partikel dari pedoman sungai, partikel tanah dari abrasi darat, tanaman, dan binatang yang mati di kawasan pesisir atau laut.  

***

Artikel Terkait

Previous
Next Post »